Hampa atau Tidak Hampa
Pertanyaanku mungkin pertanyaanmu pula, mengenai hidup atau mengenai makna yang pasti itu-itu saja.
Coba kusederhanakan pertanyaannya..
"Apa itu aku?"
Ada sebuah cerita ironi, tentang kamu yang ketakutan melihat angkasa karena menyadari ketidakterbatasan langit. Padahal, kamunya sendiri, tidak terbatas. Dirimu sendiri, memiliki keleluasaan yang sama tidak terbatasnya dengan kehampaan angkasa atau lapisan langit-langit.
Pernah sejenak kunikmati udara malam yang kadang, mendadak, bau menyan. Selepas puas aku mengabsen Archenar, Rigil, Acrux, dan beberapa rasi.. Kututup kelopak mata dan melihat kehampaan yang sama. Keleluasaan yang sama. Aku menyatu dengan langit malam. Aku dan keleluasaanku.
Kemudian muncul pertanyaan berikutnya,
"Harus kuisi dengan apa.. Kehampaan dan keleluasaan yang Kau sematkan di rongga-ronggaku? "
Sebuah rongga-rongga yang lepas dan tidak terbatas, tak ada yang bisa menjamah kecuali "aku". Rongga atau ruang yang, bisa jadi, disebut jiwa atau kalbu atau hati atau-atau lainnya. You name it.
Kuisi dengan apa.. Kuisi dengan apa...Sudah pasti seruan muncul di kepalaku, teknologi mutakhir yang dicipta jutaan tahun lalu namun sampai sekarang belum ada yang mampu mengimbanginya, otak. Seruan itu menyalak, "CINTA!"; "ILMU PENGETAHUAN!"; "LOGIKA!"; "KEIMANAN!"; "KESENANGAN!"; "PENGORBANAN!"; "BAKAR! BAKAR!"
"Oh ya?
Bagaimana jika kubiarkan hampa?"
Tantangan yang dilontarkan oleh salah satu suara di kepalaku, yang tentu saja, ditolak mentah-mentah oleh suara-suara lainnya. Ada yang ketakutan, ada yang melawan, dan ada yang diam saja penasaran dengan hasil akhirnya.
Kemudian, "aku"-ku mengisi dengan apapun itu yang kurasa indah, sebagaimana kebanyakan, cinta.
-
Kemudian, mungkin, ada yang mengiyakan suara lantang, "Bagaimana jika kubiarkan hampa? " . yang, mungkin, juga hadir di kepalanya.
Seorang "aku" yang sedang bergidik di tengah kehampaan malam. Kehampaan dirinya. Kamu.
Pertanyaanku mungkin pertanyaanmu pula, mengenai hidup atau mengenai makna yang pasti itu-itu saja.
Di dua titik koordinat, "aku"-ku memandangi "aku"-mu. Yang, mungkin, memiliki pertanyaan sama namun memiliki konklusi berbeda.
Menafsir menelaah setiap sisi, tanpa sadar, menggantikan kekagumanku pada langit malam dan keleluasannya.
Aku, tanpa mengurangi kekaguman pada sang malam, mengalihkan fokus pada "aku"-mu yang katamu berisi kehampaan, yang katamu bebas leluasa. Walaupun dalam hati aku menertawai kakimu yang gemetaran, ketakutan oleh kehampaan malam padahal hampa-hampamu lebih besar. Stupid. Sure, human is.
Ironisnya, lagi, aku menikmati yang kusebut oleh lidahku sendiri "kebodohan".
Comments
Post a Comment