Tentang Eyang


Aku bahkan tidak tahu nama eyang putri sebelum menjadi almarhum. Hanya sosok yang selalu kunikmati senyumnya, walau sebentar saja. Hanya kisah dan tutur kata eyang yang dapat kunikmati hingga nanti kubawa dalam bumi.

Eyang putri, kasihku, bidadariku.
Suatu hari aku dipeluk eyang yang ringkih, badannya kurus dan rambut yang selalu tergelung rapi dengan pakaian khas jawa. Kulitnya kusut tapi senyum dan raut wajah eyang membuat sosoknya menjadi jauh lebih cantik dari wanita muda yang sering aku lihat di TV. Walau hanya sempat kunikmati sesekali.

"Lentoooo" sapaan itu selalu diiringi dengan senyuman dan garis-garis di sudut mata eyang. Aku adalah sebuah lento dimata eyang. Iya aku bulat. Mungkin kalau eyangku kekinian aku akan menjadi tahu bulat. Kepalaku bulat, badanku bulat, tanganku bulat, aku bulat.

Tidak banyak memori tentang eyang putri saat masih mendunia, hanya sapaan yang rutin saat lebaran di depan pintu kayu khas di rumah Madiun. Sebatas sering aku melihat eyang lalu lalang dan mengobrol dengan ibu, plus satu dua tante atau bude. Jarang aku melihat eyang berbicara dengan banyak orang sekaligus, kecuali hanya mendengar atau berkomentar sederhana saja. Sesekali aku menjumpai eyang di dapur waktu malam hari, membuatkan kopi untuk putra-putrinya yang sedang kumpul di rumah Madiun.
Entah percakapan apa yang waktu itu eyang sampaikan, umurku masih satu digit dan apalah dayaku yang hanya bisa berlari membayangkan celana menjadi basah karena ngompol. Jika bisa aku mengulang, waktu itu, mungkin akan kutemani eyang putri sepanjang malam. Sayangnya aku hanya bisa diam, melihat, dan mendengar. Bisa apa aku dengan ketidaktahuanku?

Eyang hampir tidak pernah mengeluarkan suara "kelontang-kelontang" atau "ting ting ting" yang nyaring di dapur, hanya halus saja suaranya. Eyang selalu berhasil menjinakkan piring, sendok, gelas, dan wajan dengan halus hingga tak menimbulkan suara bising. Bahkan waktu mengaduk kopi pun, tidak ada suara "ting" yang sampai keluar dapur.
"Ngene ki ojo sampe dengar.. Nanti sungkan yang mau disuguhi kopi, trus malah nggawe dewe.. hehehe"
"Sini, Nto.."

Walaupun aku hanya diam, eyang mengajakku berbicara. Aku memang membuntutinya, sampai eyang membawa beberapa gelas kopi dalam satu baki ke ruang tengah.

Kalau saja aku tahu, waktu itu aku menyaksikan eyang putriku mempunyai hati yang sangat lembut.

Sebatas itu saja. Sesedikit itu saja memoriku tentang eyang putri. Tentu saja aku ingat tangisan berjam-jam setelah eyang putri berpulang tanpa tahu alasan kenapa aku menangis, kenapa waktu itu eyang dipanggil tidak lagi menjawab, hanya bisa kukecup dahi dan pipinya. Bahkan rasa malu atas sepupu yang menertawai kecengenganku, tidak membuatku berhenti. Seperti tidak terkendali, kebanjiran, aku menangis sejadi-jadinya. Aku sampai terpaksa lari ke tengah kumpulan "orang tua" dekat kamar depan untuk bersembunyi dan berlari dari kenyataan menjadi bahan tertawaan. Kembang tujuh rupa yang ada di tangan sudah kuremas-remas. Aku diam dan berusaha memahami yang tidak mungkin kupahami waktu itu.

Eyang putri adalah sosok yang sederhana dengan senyum yang lebih berharga dari triliunan rupiah. Eyangku suka sekali dengan uang, menabung adalah hobinya. Tapi, memberi adalah hobi utamanya. Bersyukur.. mungkin adalah way of life nya. Walaupun suasana rumah ayah dan ibu dulu sempit, eyang putri yang sedang berkunjung berkata "Wah.. wenak iki, serba cidak. Nang kamar tinggal mak seett.. Nang kamar mandi tinggal mak syuutt.. Wenak iki omah e!" (Wah enak ini, serba dekat. Mau ke kamar cepat, mau kemar mandi juga syuuuu.. cepat. Enak ini rumahnya!) padahal ibu dan ayah sedang suram karena hanya punya rumah kos sebesar kamarku saat ini. Kecil untuk ukuran rumah, ditambah dengan komentar "Waah.. Iyo. Tenan. Wenak ndek kene iki.." tapi tangan eyang putri kipas-kipas. Panas. Sebenarnya. Apalagi dibandingkan dengan rumah Madiun yang luasnya sampai bisa dipakai main kejar-kejaran belasan bocah.

Eyang putri hampir tidak pernah marah atau mengeluh walaupun total putra-putrinya ada sepuluh dan menjadi janda diusia muda, mendadak kondisi ekonomi jatuh dimana sebelumnya hidup dengan berkecukupan. Bukan berarti mudah, jika sedang bersedih eyang putri hanya diam dan memohon pada Gusti Allah dan kadang menambahkan "piye iki Pak.." (bagaimana ini Pak?), memanggil suami tercinta yang telah berpulang mendahuiluinya. Tapi, entah bagaimana caranya eyang masih bisa berbagi rejeki dengan warga sekitar atau bahkan orang di pasar. Bahkan ayam dan kucing juga suka membuntuti eyang putri. Walaupun kucingnya mati muda, dia mati demi membunuh ular yang hampir menggigit eyang waktu itu. Rest in peace pus..

Eyang putri tidak perlu berbicara dan aku belajar banyak darinya. Aku belajar menerima, bersyukur, mau mengerti,menyayangi, menjaga persaudaraan, kebahagiaan, menahan diri, percaya pada Ilahi, dan keinginan untuk belajar sebagaimana eyang putri yang belajar shalat dan puasa di sisa-sisa usianya sampai muncul keinginan untuk haji yang akhirnya diwujudkan oleh putranya. Pelajaran yang bisa aku ambil banyak sekali dan selalu kusyukuri aku berada berada dalam keluarga eyang putri. Walaupun aku masih seperti ini, jauh dari berilmu dan bersih hati.

Semoga eyang putri, Soemini, mendapatkan senyum Ilahi dan dilimpahkan kebahagiaan. Oiya mbah, moga uangnya mbah sekarang banyak ya hehehe
please be happy mbah. aku pingin bisa cerita-cerita sama mbah. dan sebagaimana mbah yang memanggilku Lento, aku memanggil eyang putri dengan panggilan Mbah Madiun :)
Terima kasih karena tidak menyerah dengan kehidupan dan berjuang waktu dulu.

I love you, Mbah

Comments

Popular posts from this blog

Trial and Error

Bulan Purnama